Pertanyaan:
Bagaimanakah cara menentukan bahwa kita ini musafir atau tidak?
Jawaban:
“Musafir atau tidak, itu kembali kepada ukuran ‘urf (adat, kebiasaan yang dikenal masyarakat). Misalnya, bila ‘urf masyarakat di sini menganggap bahwa orang yang pergi ke Jakarta adalah Musafir, maka pada saat itu ia boleh meng-qashar dan menjamak salat.
Bila ada satu kota yang berjarak 100 km dari Malang, dan ‘urf menunjukkan bahwa perjalanan ke tempat tersebut termasuk safar, maka ia dianggap sebagai musafir. Jadi, tidak dibatasi oleh ukuran kilometer.
Orang yang membatasi jarak minimal dengan 80 km, tidak memiliki dalil yang tegas. Sehingga, permasalahan ini harus dikembalikan ke standar ‘urf. Bisa saja, misalnya, seseorang berjalan dengan mengendarai mobil selama satu jam, tetapi (ia) tidak dianggap sebagai musafir sebab hanya berputar-putar di dalam kota. Kemudian, ada orang lain yang berjalan satu jam keluar dari kotanya dengan mobil, selama satu jam atau satu setengah jam. Jika masyarakat menganggapnya sedang bersafar maka ia (disebut) musafir, begitu pula sebaliknya.” (Syekh Muhammad Musa Alu Nashr)
Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 11, Tahun VIII, 1425 H/2004 M.
Dengan pengeditan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Bagaimanakah cara menentukan bahwa kita ini musafir atau tidak?
Jawaban:
“Musafir atau tidak, itu kembali kepada ukuran ‘urf (adat, kebiasaan yang dikenal masyarakat). Misalnya, bila ‘urf masyarakat di sini menganggap bahwa orang yang pergi ke Jakarta adalah Musafir, maka pada saat itu ia boleh meng-qashar dan menjamak salat.
Bila ada satu kota yang berjarak 100 km dari Malang, dan ‘urf menunjukkan bahwa perjalanan ke tempat tersebut termasuk safar, maka ia dianggap sebagai musafir. Jadi, tidak dibatasi oleh ukuran kilometer.
Orang yang membatasi jarak minimal dengan 80 km, tidak memiliki dalil yang tegas. Sehingga, permasalahan ini harus dikembalikan ke standar ‘urf. Bisa saja, misalnya, seseorang berjalan dengan mengendarai mobil selama satu jam, tetapi (ia) tidak dianggap sebagai musafir sebab hanya berputar-putar di dalam kota. Kemudian, ada orang lain yang berjalan satu jam keluar dari kotanya dengan mobil, selama satu jam atau satu setengah jam. Jika masyarakat menganggapnya sedang bersafar maka ia (disebut) musafir, begitu pula sebaliknya.” (Syekh Muhammad Musa Alu Nashr)
Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 11, Tahun VIII, 1425 H/2004 M.
Dengan pengeditan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar