Sabtu, 12 Mei 2012

Askum, Mikum, Astojim, dan lain-lain

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Ada yang menggelitik otak dan perasaan saya ketika membaca beberapa kata yang ternyata merupakan singkatan dari kalimat yang sangat baik dan bermakna. Meski sejak dulu sebenarnya saya sudah mengetahui singkatan-singkatan itu ada, ternyata ada beberapa yang saya anggap baru saya ketahui.

Beberapa kata tersebut misalkan “As”, “Ass”, “Ass Wr Wb”, “Askum”, “Akum”, “Mikum”, “Samlekum”, dan “Samlekom” yang merujuk pada “Assalaamu’alaikum” atau “Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”. Tiga singkatan awal sudah saya ketahui sejak dulu, namun dulu saya tidak terlalu memikirkannya. Yang mengagetkan adalah yang sisanya, dan yang menambah kaget lagi adalah kata “Astojim” yang ternyata merujuk pada kalimat “Astaghfirullaahaladzim”. Saat pertama kali melihatnya, enam singkatan itu membuat saya spontan berkata, “Apaan nih?” agak keras saking terkejutnya.

Saya keheranan, ternyata ada orang yang setega dan sekreatif itu menyingkat kalimat yang bermakna menjadi tidak bermakna sama sekali. Yang menambah heran, ternyata ada yang mengikuti dan memakainya, dan lumayan banyak saya temukan di berbagai forum internet atau di facebook.

Mengapa saya bilang tidak bermakna? Karena memang tidak bermakna. Coba analisis, apakah “mikum”, “askum”, “samlekum” sama dengan “assalaamu’alaikum”? Makna “assalaamu’alaikum” adalah “Semoga keselamatan/kedamaian dilimpahkan/dicurahkan padamu”, makna “warahmatullaahi” adalah “dan rahmat Allah tercurah padamu”, dan makna “wabarakaatuh” adalah “dan berkah Allah tercurah padamu”. Makna yang bagus sekali kan? Dan juga termasuk doa yang sangat baik. Tapi, apa makna kata-kata yang dijadikan singkatannya? Zero. Apalagi kata “mikum”. Tidak ada “mi” satupun dalam “assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”. Dari mana munculnya “mi” itu???

Lalu, apa makna “astojim” yang disalahgunakan untuk menyingkat “astaghfirullaahaladzim”? “Astaghfirullaahaladzim” bermakna “Aku memohon ampun pada Allah”. Jadi arti “astojim” adalah zero juga.

Singkatan-singkatan ini memang biasanya dan kebanyakan hanya dipakai dalam bentuk tulisan, bukan lisan. Saya anggap singkatan ini, yang sebenarnya fungsi singkatan adalah untuk menghilangkan kerepotan menulis/mengetik, justru merepotkan karena membuat kita melewatkan kesempatan untuk menulis kalimat/doa yang baik dan bermakna. Kalau singkatan-singkatan ini tetap dipakai, dikembangbiakkan dan malah semakin merajalela, jangan-jangan suatu saat nanti kalimat “Laa ilaaha illallaah” akan disingkat “Lallah”, “Bismillaahirrahmaanirrahim” menjadi “bishim”, atau “wallahu’alam” menjadi “wallam”. Saya yakin jari tidak akan menjadi lecet, lelah, atau bahkan terluka hanya karena mengetik/menulis “assalaamu’alaikum” atau “astaghfirullaah” atau “astaghfirullaahaladzim”. Malah insya Allah kita akan mendapatkan keuntungan dengan mengetik/menulis seperti itu.

Biasanya, apa yang kita baca, tulis, atau ketik akan berkesesuaian dengan pelafalan di otak dan hati. Jadi, bila kita membaca, menulis/mengetik “askum”, otak kita cenderung akan melafalkan seperti itu juga. Sehingga kata itu bukanlah kalimat “assalaamu’alaikum”, hanya kata aneh tidak bermakna. Sama halnya dengan bila saya menulis “Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Bagi yang membaca (dengan benar), frase itu pasti akan dilafalkan seperti itu. Sama halnya dengan bila “Nabi Muhammad SAW”, maka biasanya kita punya kecenderungan untuk melafalkan seperti itu juga, hanya dengan tiga huruf belakang saja, bukan seperti frase pertama yang panjang.

Oleh karena itu, karena otak/hati mempunyai kecenderungan melafalkan apa yang ditulis/dibaca/diketik, jadi buatlah kalimat/kata itu bermakna dan tetap baik. Tidak perlu diubah-ubah menjadi tidak bermakna sama sekali. Meski mungkin kita tahu maksud singkatan itu, tapi pelafalan dan maknanya kan tidak sama. Lagipula, itu kan doa dan kalimat yang baik, mengapa harus merepotkan diri dengan menyingkatnya.

Ketika Nabi Musa ‘alaihisallam meminta kalimat khusus untuk mengingat Allah, Allah memberinya kalimat “Laa ilaaha illallaah”. Nabi Musa ‘alaihisallam sempat tidak menerima karena kalimat tersebut terlalu umum, karena ia hanya menginginkan kalimat yang khusus digunakan olehnya saja. Namun, Allah kemudian berfirman, “Wahai Musa, seandainya seluruh penduduk tujuh lapis Langit dan seluruh penduduk tujuh lapis Bumi diletakkan pada satu telapak tangan, lalu kalimat ‘laa ilaaha illallaah’ diletakkan pada satu telapak tangan lainnya, maka telapak tangan yang lebih berat adalah telapak tangan yang menggenggam kalimat ‘laa ilaaha illallaah’.”

Kalau misalnya kalimat “laa ilaaha illallaah” itu disingkat, apakah makna dan nilainya tetap sama? Tentu saja tidak kan? Karena sudah berbeda pelafalan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Kalian tak akan masuk surga sampai kalian beriman dan saling mencintai. Maukah aku tunjukkan satu amalan yang bila dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Yaitu, sebarkanlah salam di antara kalian. [HR Muslim dan Abu Hurairah]

Tentu saja, “askum” dan kawan-kawannya bukan merupakan salam kan???

Yang menghancurkan Islam bukan hanya dari luar, tapi juga orang Islamnya sendiri yang tidak mau/bisa/mampu menjaga dan mempertahankan nilai-nilai keislamannya.

PS:
Sebagian besar isi tulisan adalah hasil pemikiran saya sendiri, jadi saya terbuka untuk dikoreksi, dinasehati, dikritik, atau didebat. Terima kasih…



Artikel Terkait:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar