Perbincangan seputar ide Khilafah terus tumbuh dan berkembang. Pro dan kontra pun bermunculan. Para pengusung ide Khilafah dengan tegas menyerukan bahwa Khilafah wajib secara qath’I (pasti) sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syara’. Sedangkan para penolak ide khilafah justru berpendapat sebaliknya dengan mengatakan bahwa Khilafah tidaklah wajib. Mereka mengatakan bahwa tidak ada satu pun dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang secara tegas menunjukkan kewajibannya. Bahkan menurut mereka, istilah Khilafah sendiri pun tidak ditemui dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Lalu, benarkah argumentasi para penolak ide Khilafah ini? Adakah dalil yang secara qath’I menunjukkan kewajiban Khilafah? Berikut ulasannya.
Hukum Syara’ adalah seruan Asy-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hamba baik dalam bentuk tuntutan (al-iqtidha’), pilihan (at-takhyir) atau kondisi (al-wadh’u). Seruan Asy-Syari’ adalah apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, baik berbentuk perintah maupun larangan. Seruan Syari’ tersebut dapat dipahami melalui nash atau dengan adanya qarinah (indikasi) yang menentukan arti dari nash.
Para penolak ide Khilafah sering kali mendasari pemahaman hanya pada makna bahasa (lughawi) saja. Padahal suatu kewajiban harus dilihat dari jenis seruan yang dituntut dari berbagai ayat dan hadits berikut qarinah yang berkaitan dengan hal itu. Ketiadaan suatu istilah dalam Al-Quran bukan lantas menjadikan perkara tersebut tidak diatur dalam Islam. Dalam khazanah pemikiran Islam ada istilah ‘aqidah, mutakallimin, tasawuf, yang secara bahasa tidak ada dalam Al-Qur’an. Tapi apakah dikatakan bahwa hal tersebut tidak diatur dalam Islam? Begitu juga istilah Khilafah atau Daulah yang secara bahasa tidak termaktub dalam Al-Qur’an bukan berarti menjadikan perkara tersebut tidak diatur dalam Islam. Istilah demokrasi (ad-dimuqratiyah) juga tidak ada dalam Al-Qur’an, bahkan qarinah yang menunjukkan kewajiban menerapkannya pun tidak ada. Lantas kenapa saat ini banyak orang yang mempertahankannya?
Dalil yang menunjukkan kewajiban Khilafah sesungguhnya sudah sangat jelas. Khilafah hakikatnya adalah seorang Khalifah yang dibai’at untuk melaksanakan hukum-hukum syari’at. Khilafah merupakan kekuatan politik praktik yang menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum syara’ serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Wajibnya mengangkat seorang Khalifah telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Dalil dari Al-Qur’an adalah perintah Allah kepada Rasulullah untuk menjalankan pemerintahan (hukum) Islam di tengah-tengah kaum muslimin. Perintah-Nya tegas dan pasti. Sebagaimana firman-Nya, “Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kalian” (QS. Al-Maidah [5]: 48).
Dalam ayat yang lain, Allah Swt berfirman, “Hendaklah kalian memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang ditrunkan Allah, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kalian terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kailan dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepada kalian” (QS. Al-Maidah [5]: 49).
Ayat-ayat tersebut dan yang senada dengannya jelas menunjukkan aspek-aspek yang berhubungan dengan hukum pemerintahan. Disamping itu juga banyak ayat-ayat lain yang membicarakan masalah hukum peradilan, hukum perang (QS. 8 : 41, 58, 67, tentang tawanan perang), hukum politik (QS. 4: 58, 59, tentang keadilan dan taat kepada negara), hukum pidana (QS. 2: 178, tentang Qishash; QS. 4: 92, tentang pembunuhan yang tidak disengaja), hukum ekonomi (QS. 9: 60, tentang zakat; QS. 6: 152, tentang harta anak yatim) dan sebagainya. Maka jika Daulah/Khilafah tidak ada, lantas siapa yang akan menerapkan hukum-hukum tersebut? Bukankah jika demikian halnya banyak kewajiban yang terabaikan (yaitu kewajiban yang membutuhkan adanya pemerintahan) akibat ketiadaan Khilafah? Apakah sistem demokrasi yang akan menerapkan hukum tersebut? Jawabannya tentu tidak. Sebab demokrasi berdiri di atas landasan ide sekulerisme yang telah menafikan peran agama dalam negara.
Terkait dengan penerapan hukum Islam, Muhammad Ibn al-Mubarak mengungkapkan, “Al-Qur’an mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara (Islam) yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan adalah bagian substansial dari ajaran Islam. Islam tidak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keislaman kaum muslimin pun tidak akan sempurna tanpa negara.” [1]
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits Rasul Saw, “Barangsiapa mati dan belum mengetahui (mengakui) imam (khalifah) pada zamannya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” Imam Ahmad dan ath-Thabrani juga meriwayatkan dari Mu’awiyah: “barangsiapa mati, sementara di lehernya tidak ada bai’at, maka matinya mati jahiliyah.”
Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya imam adalah laksana perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan dia akan dijadikan sebagai pelindung.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’I, Ahmad dari Abu Hurayrah).
Hadits di atas berisi tentang pujian, yaitu “imam adalah laksana perisai”. Jika adanya “sesuatu yang dipuji” membawa konsekuensi tegaknya hukum islam dan sebaliknya ketiadaan “sesuatu yang dipuji” tersebut, hukum islam tidak tegak, maka pujian tersebut merupakan qarinah jazimah (indikasi yang tegas) bahwa “sesuatu yang dipuji” tersebut hukumnya wajib. Sesuatu yang dipuji itu tidak lain adalah Khilafah Islam yang akan menjadi perisai bagi kaum muslimin.
Adapun dalil dari ijma’ sahabat adalah keputusan para sahabat yang menunda pemakaman jenazah Rasul Saw. Padahal hukumnya adalah fardhu kifayah yang harus disegerakan pelaksanaannya. Namun para sahabat mendahulukan mengangkat pemimpin sepeninggal Rasulullah Saw. Pengangkatan ini sampai-sampai menganggap urusan Khalifah sebagai kewajiban terpenting di antara kewajiban-kewajiban yang ada. Inilah dalil yang qath’I dan bentuk kesepakatan para sahabat yang mutawatir atas ketidakbolehan kaum Muslimin kosong dari adanya Khalifah.
Perlu diketahui juga bahwa jumhur ‘ulama dan fuqoha telah sepakat tentang wajibnya Khilafah. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Syaikh ‘Abdurrahman al-Jaziri, beliau mengatakan, “Para Imam (yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad)-Rahimahullah – telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu, dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan menegakkan syi’ar-syi’ar agama, dan menolong orang-orang yang dizhalimi.” [2]
Imam Ibnu Hazm juga mengatakan: “Seluruh golongan Ahlus Sunnah, Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij, telah sepakat mengenai kewajiban Imamah dan bahwa ummat wajib menta’ati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah, dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa Rasulullah SAW.” [3]
Imam al-Qurthubi juga berpendapat demikian, seperti yang dingkapkan dalam tafsirnya: “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni kewajiban Khilafah) baik diantara ummat maupun diantara para imam, kecuali pendapat al-Asham -yang tuli (Arab: `asham”-tuli) terhadap syari’at- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya.” [4]
Jika umat telah sepakat akan kewajiban Khilafah, lantas masih adakah orang yang meragukan kewajibannya? Atau mengingkari bahwa Islam tidak memiliki daulah yang melaksanakan hukum-hukum dan mengatur umatnya? Maka kita bertanya kepada mereka: mau diapakan nash-nash yang secara tegas dan jelas membicarakan masalah pemerintahan dan kekuasaan? Apakah kita akan menutup mata pada fakta sejarah yang menggambarkan apa yang dilakukan Rasulullah Saw, seperti mengirim wali (gubernur), mengangkat hakim (Qadhi), mengadili perselisihan di antara kaum muslimin, dan sebagainya? Wallahu a’lam bi ash-shawwab. []
[Kusnady Ar-Razi]
[1] Lihat Muhammad bin Al-Mubarrak, al-Hukmu wa ad-Daulah, halaman 11
[2] Lihat Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh `Ala al-Madzahib al- Arba’ah, Juz V halaman 614
[3] Ibnu Hazm, al-Fashlu fil Milal wa al-ahwa an-Nihal, juz 4, hal 87
[4] Lihat Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 264
Tidak ada komentar:
Posting Komentar