بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Ada yang menggelitik otak dan perasaan saya ketika membaca beberapa kata
yang ternyata merupakan singkatan dari kalimat yang sangat baik dan bermakna.
Meski sejak dulu sebenarnya saya sudah mengetahui singkatan-singkatan itu ada,
ternyata ada beberapa yang saya anggap baru saya ketahui.
Beberapa kata tersebut misalkan “As”, “Ass”, “Ass Wr Wb”, “Askum”,
“Akum”, “Mikum”, “Samlekum”, dan “Samlekom” yang merujuk pada
“Assalaamu’alaikum” atau “Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”. Tiga
singkatan awal sudah saya ketahui sejak dulu, namun dulu saya tidak terlalu
memikirkannya. Yang mengagetkan adalah yang sisanya, dan yang menambah kaget
lagi adalah kata “Astojim” yang ternyata merujuk pada kalimat
“Astaghfirullaahaladzim”. Saat pertama kali melihatnya, enam singkatan itu
membuat saya spontan berkata, “Apaan nih?” agak keras saking terkejutnya.
Saya keheranan, ternyata ada orang yang setega dan sekreatif itu
menyingkat kalimat yang bermakna menjadi tidak bermakna sama sekali. Yang
menambah heran, ternyata ada yang mengikuti dan memakainya, dan lumayan banyak
saya temukan di berbagai forum internet atau di facebook.
Mengapa saya bilang tidak bermakna? Karena memang tidak bermakna. Coba
analisis, apakah “mikum”, “askum”, “samlekum” sama dengan “assalaamu’alaikum”? Makna
“assalaamu’alaikum” adalah “Semoga keselamatan/kedamaian dilimpahkan/dicurahkan
padamu”, makna “warahmatullaahi” adalah “dan rahmat Allah tercurah padamu”, dan
makna “wabarakaatuh” adalah “dan berkah Allah tercurah padamu”. Makna yang
bagus sekali kan? Dan juga termasuk doa yang sangat baik. Tapi, apa makna
kata-kata yang dijadikan singkatannya? Zero. Apalagi kata “mikum”. Tidak ada
“mi” satupun dalam “assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”. Dari mana
munculnya “mi” itu???
Lalu, apa makna “astojim” yang disalahgunakan untuk menyingkat
“astaghfirullaahaladzim”? “Astaghfirullaahaladzim” bermakna “Aku memohon ampun
pada Allah”. Jadi arti “astojim” adalah zero juga.
Singkatan-singkatan ini memang biasanya dan kebanyakan hanya dipakai
dalam bentuk tulisan, bukan lisan. Saya anggap singkatan ini, yang sebenarnya
fungsi singkatan adalah untuk menghilangkan kerepotan menulis/mengetik, justru
merepotkan karena membuat kita melewatkan kesempatan untuk menulis kalimat/doa
yang baik dan bermakna. Kalau singkatan-singkatan ini tetap dipakai,
dikembangbiakkan dan malah semakin merajalela, jangan-jangan suatu saat nanti
kalimat “Laa ilaaha illallaah” akan disingkat “Lallah”,
“Bismillaahirrahmaanirrahim” menjadi “bishim”, atau “wallahu’alam” menjadi
“wallam”. Saya yakin jari tidak akan menjadi lecet, lelah, atau bahkan terluka
hanya karena mengetik/menulis “assalaamu’alaikum” atau “astaghfirullaah” atau
“astaghfirullaahaladzim”. Malah insya Allah kita akan mendapatkan keuntungan
dengan mengetik/menulis seperti itu.
Biasanya, apa yang kita baca, tulis, atau ketik akan berkesesuaian dengan
pelafalan di otak dan hati. Jadi, bila kita membaca, menulis/mengetik “askum”,
otak kita cenderung akan melafalkan seperti itu juga. Sehingga kata itu
bukanlah kalimat “assalaamu’alaikum”, hanya kata aneh tidak bermakna. Sama
halnya dengan bila saya menulis “Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
Bagi yang membaca (dengan benar), frase itu pasti akan dilafalkan seperti itu.
Sama halnya dengan bila “Nabi Muhammad SAW”, maka biasanya kita punya kecenderungan
untuk melafalkan seperti itu juga, hanya dengan tiga huruf belakang saja, bukan
seperti frase pertama yang panjang.
Oleh karena itu, karena otak/hati mempunyai kecenderungan melafalkan apa
yang ditulis/dibaca/diketik, jadi buatlah kalimat/kata itu bermakna dan tetap
baik. Tidak perlu diubah-ubah menjadi tidak bermakna sama sekali. Meski mungkin
kita tahu maksud singkatan itu, tapi pelafalan dan maknanya kan tidak sama.
Lagipula, itu kan doa dan kalimat yang baik, mengapa harus merepotkan diri dengan
menyingkatnya.
Ketika Nabi Musa ‘alaihisallam meminta kalimat khusus untuk mengingat
Allah, Allah memberinya kalimat “Laa ilaaha illallaah”. Nabi Musa ‘alaihisallam
sempat tidak menerima karena kalimat tersebut terlalu umum, karena ia hanya
menginginkan kalimat yang khusus digunakan olehnya saja. Namun, Allah kemudian
berfirman, “Wahai Musa, seandainya seluruh penduduk tujuh lapis Langit dan
seluruh penduduk tujuh lapis Bumi diletakkan pada satu telapak tangan, lalu
kalimat ‘laa ilaaha illallaah’ diletakkan pada satu telapak tangan lainnya,
maka telapak tangan yang lebih berat adalah telapak tangan yang menggenggam
kalimat ‘laa ilaaha illallaah’.”
Kalau misalnya kalimat “laa ilaaha illallaah” itu disingkat, apakah makna
dan nilainya tetap sama? Tentu saja tidak kan? Karena sudah berbeda pelafalan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Kalian tak akan masuk surga sampai kalian beriman dan saling mencintai.
Maukah aku tunjukkan satu amalan yang bila dilakukan akan membuat kalian saling
mencintai? Yaitu, sebarkanlah salam di antara kalian. [HR Muslim dan Abu
Hurairah]
Tentu saja, “askum” dan kawan-kawannya bukan merupakan salam kan???
Yang menghancurkan Islam bukan hanya dari luar, tapi juga orang Islamnya
sendiri yang tidak mau/bisa/mampu menjaga dan mempertahankan nilai-nilai
keislamannya.
PS:
Sebagian besar isi tulisan adalah hasil pemikiran saya sendiri, jadi saya
terbuka untuk dikoreksi, dinasehati, dikritik, atau didebat. Terima kasih…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar