Jumat, 14 Januari 2011

perusak ekonomi,,,

Oleh : Mujahidah Salsabila Firdaus

Sebuah pengakuan dari seorang Bandit Ekonomi, John Perkins yang telah malang-melintang di seantero jagad hanya demi mengobrak-abrik tatanan perekonomian dunia internasional

Resume dari sebuah buku berjudul The Secret History of American Empire, Economic Hit Men, Jakals, and The Truth About Global Corruption



BAGIAN 1 : ASIA


1.                  Wanita Misterius Di Jakarta


1971, aku sudah siap memperkosa dan menjarah Asia. Usiaku dua puluh enam tahun, dan merasa diperdaya oleh kehidupan. Aku ingin membalas dendam.


            Jika direnungkan kembali, kini aku yakin, kemarahanlah yang membuat aku mendapatkan pekerjaan ini. Tes psikologi berjam-jam yang dilakukan Badan Keamanan Nasional (NSA) telah mengidentifikasi diriku sebagai seseorang yang berpotensi menjadi Bandit Ekonomi. Bangsa kami menyimpulkannya sebagai organisasi spionase paling rahasia. Chas T. Main – pimpinan sebuah firma konsultan internasional (MAIN) yang melakukan pekerjaan korporatokrasi kotor – mempekerjakanku sebagai seorang kandidat ideal penjarah Dunia Ketiga.

            Sebagai putra seorang guru sekolah menengah yang miskin, aku tumbuh pada lingkungan anak-anak berada. Aku ketakutan sekaligus terpesona terhadap perempuan dan, maka itulah aku dikucilkan oleh mereka. Diri ini kuanggap sebagai warga Amerika yang loyal dan sejati. Sebagian besar keluargaku menjadi pengikut Partai Republik yang konservatif. Pengikut partai konservatif adalah orang yang meyakini cita-cita pendirian sebuah Negara, meyakini keadilan, dan kesetaraan untuk semua orang. Aku marah ketika menyaksikan perusahaan minyak mengkhianati cita-cita ini di Vietnam – kolusi Washington yang kulihat menghancurkan Amazon dan memperbudak para penduduknya.

            Mengapa aku memilih menjadi Bandit Ekonomi, dengan kata lain mengompromikan idealismeku? Bisa dikatakan bahwa pekerjaan itu menjanjikan terpenuhinya berbagai fantasiku, menawarkan uang, kekuasaan, dan wanita cantik. Saat menuju Asia, aku membayangkan keuntungan yang akan kuraup selama beberapa tahun, lalu sistem itu kubongkar, dan jadilah aku ini seorang pahlawan. Tiba saatnya kini untuk memperkosa dan menjarah.

            Indonesia akan menjadi korban pertamaku…


            Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari tujuh belas ribu pulau yang tersebar mulai dari Asia Tenggara hingga Australia. Tiga ratus etnis di sana menggunakan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa. Populasi Muslimnya terbesar jika dibandingkan Negara lainnya. Kami tahu, menjelang dasawarsa 1960-an, Negara ini bergelimang minyak.

            Presiden John F. Kennedy membentuk Asia sebagai benteng pendiri imperium anti-komunis saat ia menyokong kudeta yang mengakibatkan pimpinan Vietnam Selatan, Ngo Dinh Diem, terguling pada 1963. Diem pun terbunuh, dan banyak yang meyakini CIA-lah yang memerintahkannya. Apalagi CIA jugalah yang menyusun kudeta terhadap Mossadegh di Iran, Qasim di Iraq, Jacobo Arbenz di Venezuela, dan Lumumba di Kongo. Tumbangnya Diem memicu terbentuknya kekuatan militer AS di Asia Tenggara, dan puncaknya, pecahlah Perang Vietnam.

            Beberapa kejadian ini tak sejalan dengan rencana Kennedy. Lama setelah sang Presiden terbunuh, perang berubah menjadi bencana bagi AS. Pada 1969, Presiden Richard M. Nixon mangawali serangkaian upaya penarikan pasukan. Pemerintahannya menerapkan strategi rahasia yang difokuskan untuk mencegah efek domino, yaitu tunduknya satu demi satu Negara di kaki pemerintahan komunis. Indonesia-lah yang menjadi kunci untuk menjegal penyebaran paham itu.

            Salah satu faktor kunci yang menjadikan Indonesia sebagai Negara strategis adalah Presiden Soeharto. Ia memiliki reputasi sebagai pendukung anti-komunisme dan tidak pernah ragu untuk menggunakan tindakan brutal dan ekstrim dalam kebijakannya.

            Ketika aku tiba di Indonesia pada 1971, tujuan kebijakan AS sudah jelas, yaitu menghentikan komunisme dan mendukung sang presiden. Kami berharap Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah Iran. Kedua orang itu serupa : tamak, angkuh, dan bengis. Selain mendambakan minyaknya, kami ingin menjadikan Indonesia sebagai contoh bagi Negara-negara Asia lainnya, juga dunia Islam, khususnya Timur Tengah.

            Perusahaanku, MAIN, bertugas mengembangkan sistem kelistrikan terpadu yang memungkinkan Soeharto dan krooni-kroninya menggerakkan industrialisasi, menambah kekayaan, dan memastikan dominasi Amerika dalam jangka panjang. Sedangkan tugasku adalah melakukan kajian perekonomian yang diperlukan untuk mendapatkan pendanaan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID).

            Tak lama setelah aku tiba di Jakarta, tim MAIN mengadakan pertemuan di restoran berkelas di lantai atas hotel Intercontinental Indonesia. Charlie Ilingworth, manajer proyek, merangkum misi untuk menyelamatkan Negara ini dari komunisme, serta kebutuhan AS akan minyak dan memastikan industri minyak dan segala pendukungnya tetap memperoleh aliran listrik selama rencana dua puluh lima tahun ke depan.

            Sebagian besar kantor Pemerintahan Jakarta buka pagi-pagi dan tutup pukul dua siang. Aku memiliki kebiasaan segera kembali ke hotel, berganti pakaian, mandi, menuju kolam renang, dan memesan sandwich ikan tuna dan Bintang Baru dingin. Meskipun membawa koper yang berisi dokumen rapat, itu hanyalah dalih. Sebenarnya aku ke sana untuk menggelapkan warna kulit dan “mencuci mata” pada wanita-wanita muda berbikini.

            Sebentar saja aku sudah terpikat pada seorang wanita blesteran Asia-Amerika yang tampaknya sebaya denganku. Setiap hari, sekitar pukul empat, kira-kira setelah satu setengah jam aku berada di sana, seorang laki-laki yang sepertinya berasal dari Jepang, dating menemaninya. Suatu sore, saat menuju lantai dasar menggunakan lift, aku mempersiapkan diri. Aku akan mendekati wanita itu dan berbicara dengannya. Aku berjalan menuju kolam renang dengan perasaan melayang dipenuhi harapan sambil mendendangkan lagu favoritku. Langkahku terhenti, aku merasa kaget dan bingung. Ia tidak di tempat biasanya. Aku bertanya pada pelayan. Aku rasa, mengetahui kebiasaan tamu tetap adalah bagian dari pekerjaan seorang pelayan kolam renang.

            Tak terasa sudah pukul empat. Tetap tak ada tanda-tanda keberadaannya. Aku berjalan gontai. Aku harus menyingkir dari hotel ini. Aku ingin bergabung dengan kehidupan setempat.


2.                  Menjarah Penderita Lepra


Aku mengingatkan diri sendiri bahwa aku sanggup bertahan di rimba Amazon dan pernah tinggal di gubuk bersama petani Andes yang menggantungkan hidup dari jatah makanan harian berupa sebutir kentang dan segenggam kacang polong. Pikiranku melayang ke anggota tim lainnya dan semua orang Amerika yang bertugas di luar negeri, yang dengan sengaja tidak memandang Negara-negara yang mereka kunjungi sebagaimana para penduduk Negara itu melihatnya. Berbagai pengalaman yang telah aku lalui sebagai sukarelawan korps perdamaian – ikatan yang aku bentuk dengan sebagian orang di sana; cara mereka membuka kehidupan untukku; berbagi jatah yang tergolong sedikit tanpa memikirkan diri sendiri; menyambut, menghangatkan, merawat, dan bahkan mencintaiku – benar-benar mempengaruhiku. Aku bertanya-tanya apakah aku sudah tercerabut dari masa lalu untuk menjadi seorang penjarah. Bagaimana aku tega memerkosa dan menjarah penarik becak, orang-orang muda yang melayaniku di hotel dan di kantor yang sering aku kunjungi; petani yang bekerja keras di ladang, nelayan, penjahit wanita, penjaga toko, dan tukang kayu? Namun, inilah tugas yang diembankan kepadaku. Aku merampok kalangan papa dan menyerahkan hasil rampokan kepada kalangan kaya – dari perbuatan ini, aku mendapatkan komisi. Bagaimana Charlie Illingworth dan orang-orang seprofesi mampu menjalani hidup?

            Semua orang menemukan cara untuk merasionalisasi. Charlie bertarung dengan kaum komunis. Yang lain hanya dengan mencatut. Dunia makan-memakan. Sebagian orang berpandangan miring bahwa ras dan kelas rendahan atau golongan pemalas sedari lahir yang pantas merasakan kesengsaraan dalam bentuk apapun. Tapi aku: apa pembenaran untukku? Aku seorang lelaki muda yang tiba-tiba merasa sangat tua.

            Aku menatap kanal itu, berharap memegang buku Common Sense karya Tom Paine agar bisa
dilemparkan ke air yang menjijikan itu.

Mataku tertumbuk pada sesuatu yang tidak aku perhatikan sebelumnya. Sebuah kardus besar yang kumuh di dekat tepi air yang mampet itu. Saat aku menatapnya, kardus itu bergerak-gerak, mengingatkanku pada binatang yang terluka parah. Menyangka itu semua hanya halusinasi akibat cuaca yang panas, asap dan suara bising, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tapi sebelum aku menoleh, pandanganku menangkap sepotong tangan menyembul di pinggiran kotak itu – atau lebih tepatnya, sesuatu yang sepertinya pernah menjadi tangan karena sekarang sudah menjadi potongan tubuh yang berdarah-darah.

Guncangan semakin menghebat. Potongan tubuh berdarah itu menyusuri pinggiran kardus hingga ke sebuah sudut di bagian atas. Tiba-tiba ia berdiri. Rambut hitam acak-acakan mulai terlihat, seperti ular-ular kepala Medusa di atas kotak, kusut masai dan bercampur dengan lumpur. Kepala itu bergoyang sendiri dan tiba-tiba muncul tubuh, yang sedari tadi tersembunyi di balik kardus, tubuh yang menyebabkan bulu kuduk berdiri. Tubuh bungkuk dan sangat ceking yang aku rasa milik seorang perempuan itu, merayap di tanah menuju tepi kanal. Aku tersentak melihat sesuatu yang hanya pernah kudengar tapi tak pernah kutemui sebelumnya. Perempuan ini – jika memang dia perempuan – adalah seorang penderita lepra, seorang manusia yang dagingnya membusuk di depan mataku.

Aku mendengar rintihan, dan menyadari suara itu keluar dari mulutku sendiri. Kakiku lemas. Aku merasakan dorongan kuat untuk kembali ke hotel, tapi aku memaksa diri untuk bertahan. Aku harus tahan menyaksikan penderitaan orang ini. Dalam hati, aku sadar bahwa sia-sia saja melakukan upaya lain. Aku membatin, berapa banyak lagi jiwa terlantar yang melakukan ritual mengerikan semacam itu di Jakarta, di seluruh Indonesia, di India dan Afrika.

Perempuan itu tiba-tiba mengangkat muka dan memergokiku tengah memperhatikannya. Mata kami bertemu. Ia meludah ke tanah, bangkit berdiri, menggoyang-goyangkan tangan buntungnya ke arahku, menggendong si bayi, lalu bergegas dengan gerakan yang lebih cepat daripada yang kubayangkan, menghilang di balik kardus.
Di sebuah jembatan melintang di atas lalu lintas, dua macan betina mencari mangsa, memamerkan seksualitas dengan pinggul yang bergoyang. Perempuan yang rok mini menoleh, meringis dan melambai kepadaku. Kemudian mereka menaiki undak-undak jembatan.

Aku menatap ke kotak kardus itu. Aku separuh tergoda untuk turun ke sana dan menyerahkan seluruh uangku di dompetku kepada perempuan penderita lepra itu. Tapi kemudian aku melihat kain gombalnya tergeletak di tanah. Sepertinya kain itu tertinggal karena ia terburu-buru menyingkir dariku. Aku rasa paling baik tidak melanggar privasinya. Segera aku menuju jembatan penyeberangan, tanpa tahu ke mana ia berujung.
Aku mengangkat pandangan tepat pada saat aku hampir mencapai undak-undak di ujung jembatan. Tanda RESTAURANT tepat di depanku, menempel pada atap kompleks bangunan rendah di sebuah jalan yang agak menjorok dari jalan utama. Di bawahnya, dengan huruf-huruf yang kecil, terdapat tulisan FINE CHINESE MEALS. Sebuah sedan hitam, mirip dengan yang ada di kedutaan besar AS, perlahan mendekati restoran. Kendaraan yang terasing itu tampak ganjil di tengah hiruk-pikuk kota.

Bersambung



Artikel Terkait:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar