Abu Nawas memeras otak, tapi belum menemukan ide untuk membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malampun tiba, dan Abu Nawas masih tetap tidak beranjak dari tempatnya. Keesokan harinya, Abu Nawas melihat lalat-lalat menyerbu makanannya yang sudah basi. Dia tiba-tiba tertawa riang.
“Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi,” kata Abu Nawas pada istrinya.
“Untuk apa?” tanya istrinya penasaran.
“Membalas Baginda Raja.”
Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju instana. Setibanya di istana, Abu Nawas membungkuk dan kemudian berkata, “Ampun Tuanku, hamba menghadap Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa izin dari hamba dan berani memakan makanan hamba.”
“Siapa tamu-tamu yang tidak diundang itu, wahai Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Lalat-lalat ini, Tuanku!” kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya. “Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba mengajukan perlakuan yang tidak adil ini.”
“Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?”
“Hamba hanya menginginkan izin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu.”
Baginda Raja tidak bisa menolak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Dengan terpaksa Baginda membuat surat izin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.
Tanpa menunggu perintah, Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang ke sana ke mari. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu.
Ada lalat yang hinggap di kaca, Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur. Ada lalat di vas bunga, vas itu juga hancur dipukul Abu Nawas. Patung hias juga hancur karena dihinggapi lalat. Hampir semua perabotan di istana itu hancur diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tanpa malu memukul lalat yang hinggap di tempayan Baginda Raja.
Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukannya pada Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu, Baginda juga menanggung rasa malu. Abu Nawas pulang dengan perasaan lega.
Sumber:
Buku Kisah Penggeli Hati; Abu Nawas, 2005, karya MB Rahimsyah AR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar