Kami akan mencukupkan dengan menyebutkan 10 dalil:
1. Imam Ahmad meriwayatkan:
عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
"Dari Ummu Humaid istri Abu Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu 'anhuma, bahwa dia mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku suka shalat bersamamu”. Beliau bersabda: “Aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, tetapi shalatmu di dalam rumahmu (yang paling dalam) lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu. Dan shalatmu di dalam kamarmu, lebih baik daripada shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah/luar). Dan shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah/luar), lebih baik daripada shalatmu di masjid kaum-mu. Dan shalatmu di masjid kaum-mu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku".
Perawi berkata: “Maka Ummu Humaid memerintahkan, lalu dibangunlah masjid (yakni tempat untuk shalat-Red) untuknya di ujung rumah di antara rumah-rumahnya, dan yang paling gelap, demi Allah, dia biasa shalat di sana sampai meninggal.
Dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan di dalam Shahihnya, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ صَلَاةِ الْمَرْأَةِ إِلَي اللَّهِ فِي أَشَدِ مَكَانٍ مِنْ بَيْتِهَا ظُلْمَةً
"Sesungguhnya shalat wanita yang paling dicintai oleh Allah adalah (yang dilakukan) di tempat paling gelap di dalam rumahnya".
Ada beberapa hadits yang semakna dengan dua hadits ini yang menunjukkan bahwa shalat wanita di dalam rumahnya lebih utama dari shalatnya di dalam masjid.
Sisi pengambilan dalil: yaitu bahwa jika disyari’atkan bagi wanita untuk shalat di dalam rumahnya, dan bahwa hal itu lebih utama, sampaipun dari shalat di dalam masjid Rasulullah n dan bersama beliau, maka jika ikhthilath itu dilarang, itu termasuk perkara yang lebih utama (untuk dilarang).
2. Apa yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan lainnya, dengan sanad-sanad mereka dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
"Sebaik-baik shaf (barisan dalam shalat) laki-laki adalah shaf yang pertama, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang pertama". [Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Hadits Hasan Shahih”].
Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah men syari’atkan bagi para wanita jika datang ke masjid untuk memisahkan sendiri dari jama’ah (laki-laki).[4]. Kemudian beliau menyebutkan keburukan pada shaf pertama wanita , dan menyebutkan kebaikan pada shaf yang terakhir. Hal itu hanyalah karena jauhnya wanita -wanita pada shaf terakhir dari laki-laki, dari ikhthilath dengan laki-laki, dan dari melihat laki-laki, serta jauh dari terikatnya hati mereka terhadap laki-laki ketika melihat gerakan dan mendengar suara laki-laki. Dan beliau mencela shaf yang pertama karena terjadinya sebalik dari perkara-perkara di atas. Dan beliau menyebutkan keburukan pada shaf laki-laki yang terakhir apabila ada wanita-wanita shalat bersama mereka di dalam masjid, karena mereka tidak mendapatkan tempat depan dan dekat imam, juga karena dekatnya terhadap para wanita yang menyibukkan fikiran, yang bisa jadi merusakkan ibadah, mengacaukan niat dan kekusyu’an. Maka jika Pembuat agama mengantisipasi terjadinya hal itu di dalam tempat-tempat ibadah, padahal itu tidak terjadi ikhthilath, maka terjadinya hal itu jika terjadi ikhthilath tentulah lebih mungkin. Maka dilarangnya ikhthilat itu merupakan hal yang lebih utama.
3. Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya, dari Zainab istri Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada kami (para wanita):
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا
"Jika salah seorang dari kamu menghadiri masjid, maka janganlah memakai minyak wangi".
Dan Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunannya, Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i di dalam Musnad keduanya, dengan sanad mereka, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
"Janganlah kamu melarang hamba-hamba perempuan Allah (keluar ke) masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai minyak wangi".
Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil diharamkannya memakai minyak wangi bagi wanita yang ingin keluar menuju masjid, karena hal itu akan menggerakkan kebutuhan dan syahwat laki-laki, dan kemungkinan juga akan menjadi sebab yang menggerakkan syahwat wanita”. Dia juga berkata: “Dihukumi sama dengan minyak wangi ini apa yang semakna dengannya, seperti (memakai) baju dan perhiasan yang indah yang dampaknya nyata, dan bentuknya yang mewah”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Demikian pula ikhthilath dengan orang-orang laki-laki.” Al-Khathabi berkata di dalam Ma’alimus Sunan: “At-Tafal [5] artinya bau tidak sedap. Dikatakan wanita tafilah, jika dia tidak memakai minyak wangi. Dan dikatakan wanita-wanita tafilaat, (jika mereka tidak memakai minyak wangi).”
4. Usamah bin Zaid meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
"Tidaklah aku tinggalkan fitnah (ujian; yang menyebabkan kesesatan) setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita". [HR. Bukhari dan Muslim]
Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah n telah menyatakan para wanita sebagai fitnah, maka bagaimana dikumpulkan antara (wanita) yang membuat fitnah dengan (laki-laki) yang terkena sasaran fitnah? Ini tidak boleh.
5. Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
"Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu penguasa di dunia, kemudian Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat, maka berhati-hatilah kamu terhadap dunia, dan berhati-hatilah kamu terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah (kesesatan) pertama kali di kalangan Bani Isra’il dalam perkara wanita". [HR. Muslim]
Sisi pengambilan dalil: bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk berhati-hatilah terhadap wanita, dan perintah beliau itu hukumnya wajib. Maka bagaimana mungkin perintah beliau tersebut dilaksanakan bersamaan dengan (dilakukan) ikhthilath?! Ini tidak boleh.
6. Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu 'anhu :
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
"Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya. [Ini lafazh Abu Dawud].
Ibnul Atsir berkata di dalam An-Nihayah Fi Gharibil Hadits: “yuhaqqiqna ath-thariq” maknanya berjalan di haqnya, yaitu di tengahnya.
Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu.
7. Abu Dawud Ath-Thayalisi meriwayatkan di dalam Sunannya, dan lainnya, dari Nafi’ , dari Ibnu umar Radhiyallahu 'anhuma :
أَنُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَنَي الْمَسْجِدَ جَعَلَ بَابًا لِلنِّسَاءِ وَ قَالَ: لاَ يَلِجُ مِنْ هَذَا الْبَابِ مِنَ الرِّجَالُ أَحَدٌ
"Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membangun masjid, beliau membuat pintu (khusus) untuk wanita, dan dia berkata: “Tidak boleh seorangpun laki-laki masuk dari pintu ini".
Bukhari telah meriwayatkan di dalam At-Tarikhul Kabir dari Ibnu umar Radhiyallahu 'anhuma, dari nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَدْخُلُوْا الْمَسْجِدَ مِنْ بَابٍ النِّسَاءِ
"Janganlah kamu masuk masjid dari pintu wanita".
Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mencegah ikhthilath orang-orang laki-laki dan para wanita di pintu-pintu masjid, sewaktu masuk ataupun keluar. Dan beliau mencegah sumber kebersamaan laki-laki dan wanita di pintu-pintu masjid untuk menutup jalan/sarana ikhthilath. Maka jika ikhthilath dilarang dalam keadaan ini, maka terlebih lagi pada keadaan lainnya.
8. Imam Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ (مِنْ صَلاَتِهِ) قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ وَمَكَثَ فِي مَكَانِهِ يَسِيرًا
"Kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika selesai salam dari shalatnya, para wanita bangkit ketika beliau selesai salamnya, sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap di tempatnya sebentar".
Pada riwayat kedua pada Imam Bukhari:
كَانَ يُسَلِّمُ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ فَيَدْخُلْنَ بُيُوتَهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَنْصَرِفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Beliau selesai salam, lalu para wanita berpaling kemudian masuk rumah mereka sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling".
Pada riwayat ketiga:
كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مَنْ صَلَّي مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ
"Kebiasan para wanita ketika selesai salam dari shalat wajib, mereka bangkit, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang laki-laki yang shalat bersama beliau tetap di tempat mereka –masya Allah- . Kemudian apabila Rasulullah n bangkit, orang-orang laki-laki juga bangkit".
Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mencegah ikhthilath dengan perbuatan beliau, maka ini merupakan peringatan dilarangnya ikhthilath pada tempat selain ini.
9 dan 10. Ath-Thabarani meriwayatkan di dalam Mu’jamul Kabir dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
َلأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
"Sungguh jika kepala salah seorang dari kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya".
Al-Haitsami berkata di dalam Majma’uz Zawaid: “Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahih”. Al-Mundziri berkata di dalam At-Targhib Wat Tarhib: “Para perawinya terpercaya”.
Ath-Thabarani juga meriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda:
لأَنْ يَزْحَمَ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِخًا بِطِيْنٍ وَ حَمَأَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ
"Sungguh jika seorang laki-laki berdesakkan dengan seekor babi yang berlumuran tanah dan lumpur lebih baik daripada pundaknya berdesakkan dengan pundak wanita yang tidak halal baginya".
Sisi pengambilan dalil dari kedua hadits di atas: bahwa Rasulullah n mencegah persentuhan laki-laki dengan wanita dengan pelapis atau tanpa pelapis jika bukan mahramnya, karena hal itu akan membawa dampak yang buruk. Demikian pula ikhthilath dilarang karena hal itu.
Maka barangsiapa yang memperhatikan dalil-dalil yang telah kami sebutkan niscaya akan jelas baginya bahwa menerima anggapan “ikhthilath itu tidak akan membawa fitnah (kemaksiatan; kesesatan)”, itu hanyalah menurut persepsi sebagian orang saja. Padahal sebenarnya hal itu akan membawa kepada fitnah, oleh karena inilah Pembuat syari’at mencegahnya untuk menutup sumber kerusakan.
Tetapi tidak termasuk ikhthilath yang terlarang, perkara-perkara yang kebutuhan mengharuskannya dan yang sangat diperlukan, dan terjadi di tempat-tempat ibadah, sebagaimana yang terjadi di tanah suci Makkah dan tanah suci Madinah. Kami mohon kepada Allah Ta’ala agar menunjuki kaum muslimin yang tersesat, dan agar menambah petunjuk kepada kaum muslimin yang telah mendapatkan petunjuk, dan agar Dia memberikan taufiq kepada para penguasa kaum muslimin untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, serta membimbing tangan orang-orang yang bodoh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Dekat, dan shalawat Allah mudah-mudahan diberikan kepada Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. (Fatwa no: 118, tanggal: 14-5-1388) [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 561-569, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar