Ini adalah sebuah kisah pernikahan yang sangat indah di jamannya, kisah pernikahan antara puteri seorang ulama besar tokoh tabi’in Madinah yang bernama Al imam Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah dengan seorang pemuda salah satu dari muridnya yang bernama Abu Wada’ah.
Seorang Syaikh yang dengan berani menolak pinangan Amirul Mukminin Abdul Malik bin marwan - yang raja-raja romawi gentar pada wibawanya- , untuk dinikahkan dengan putranya yang bernama Al walid bin Abdul Malik.
Pernah ada seseorang yang bertanya kepadanya,” Mengapa kau tolak pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan puterimu dengan orang awam, mengapa ?
Syaikh itupun menjawab : “Puteriku adalah amanat dileherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya. “
“Apa maksud pernyataan itu wahai syaikh, ?” Bagaimana pandangan kalian bila misalnya puteriku pindah di istana Bani Umayyah lalu bergemilang diantara ranjang dan perabotannya? Para pembantu mengelilingi disisi kanan dan kirinya, dan dia mendapati dirinya menjadi isteri dari seorang Khalifah. Bagaimana keteguhan agamanya nantinya ?” jawab syaikh tersebut.
Inilah seorang Syaikh yang menjadikan dunianya sebagai kendaraan dan perbekalannya untuk akhiratnya. Dia membeli untuk dirinya dan keluarganya akhirat dengan dunianya.
Abu Wada’ah adalah seorang penuntut ilmu yang gigih dan senantiasa selalu hadir dalam halaqoh Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah di Masjid Madinah Al Munawarah, aku adalah orang yang suka mensikut orang-orang sambil berdesak-desakan dalam majelis tersebut, demi memperoleh ilmu yang disampaikan oleh syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah.
Akan tetapi suatu ketika dalam beberapa hari aku tidak dapat menghadiri halaqoh tersebut karena suatu hal yaitu musibah yang telah datang mengenai keluargaku dengan kematian isteriku. Aku mengurusi semuanya sampai selesai urusan tersebut.
Hingga Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah mencari kesana kemari, tentang kabar dariku, dan tiada hasil yang beliau dapatkan.
Setelah aku kembali ke halaqoh ilmunya, maka dengan serta merta, Syaikh tersebut menyapa dan menyalamiku sambil menanyakan kemana perginya selama ini, maka aku menjelaskan hal ihwal tentang keberadaanku selama itu bahwasanya isteriku telah meninggal dunia dan aku sibuk untuk mengurusinya.
Maka syaikh, berkata, “ Kalau saja engkau memberitahu aku, Yaa Aba Wada’ah, tentunya aku akan menghiburmu, menghadiri jenazahnya, dan membantu segala kesulitanmu.”
“Terima kasih atas perhatianmu yaa syaikh,” jawab Abu Wada’ah.
Ketika hendak berlalu pulang, Syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah mencegahnya dan memintanya untuk menunggu sampai semua orang yang ada dimajelis itu pulang, lalu katanya, “ Apakah engkau sudah berfikir untuk beristeri lagi, yaa Aba Wada’ah?”
“Allah Ta’ala merahmati anda yaa syaikh, siapa gerangan yang mau menikahkan puterinya dengan diriku, sedang aku adalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam kefakiran. Yang kumiliki tak lebih dari beberapa dirham saja. “ Kata Abu Wada’ah.
“Aku akan menikahkanmu dengan puteriku.” Abu Wada’ah menjadi bingung dan terheran-heran, “Anda yaa Syaikh ? Anda hendak menikahkan puteri anda denganku padahal anda sudah tahu persis keadaan diriku seperti apa ?”
“Ya benar. Bila seorang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaqnya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau dimata kami termasuk orang yang agama dan akhlaqnya kami sukai, “ Jawab syaikh Sa’id bin Musayyib Rahimahullah.
Lalu Syaikh berpaling kepada orang yang berdekatan dengan kami berdua, kemudian dipanggilnya. Begitu mereka datang dan berkumpul disekeliling kami, syaikh kemudian bertahmid, dan bersholawat bahkan langsung menikahkan Abu Wada’ah dengan puterinya serta menjadikan tiga dirham yang dimiliki Abu Wada’ah sebagai maharnya. Sejenak Abu Wada’ah terpaku tak tahu harus berkata apa-apa karena heran dan bercampur gembira, kemudian dia bergegas pulang. Saat itu Abu Wada’ah sedang berpuasa hingga dia lupa kalau dirinya berpuasa. Dia berkata pada dirinya sendiri, “ Sungguh keterlaluan engkau ini yaa Aba Wada’ah, apa yang engkau perbuat dengan dirimu ? kepada siapa engkau akan meminjam uang untuk keperluanmu ? kepada siapa pula engkau akan meminta uang itu ?”
Abu Wada’ah berada dalam keadaan seperti itu sampai waktu maghribpun tiba. Setelah ia menunaikan kewajibannya, ia duduk untuk menyantap makanannya, yang terdiri dari roti dan minyak. Habis satu dua suapan, mendadak terdengar ketukan dipintunya. Abu Wada’ah bertanya dari dalam, “ Siapa ?”
“Sa’id “
Demi Allah, langsung terlintas dalam benaknya setiap nama sa’id yang ia kenal, kecuali Sa’id bin Musayyib, sebab selama 20 tahun orang ini tidak pernah terlihat antara rumahnya dengan masjid nabawi.
Maka dibukakan pintu rumahnya, didepannya berdiri seorang Imam Asy-syaikh Sa’id bin Musayyib. Dia menduga bahwa Syaikh tersebut menyadari ketergesaannya dalam menikahkan puterinya lalu datang untuk membicarakan hal tersebut kepadanya. Oleh sebab itu Abu Wada’ah segera berkata, “Wahai Aba Muhammad, mengapa engkau tidak menyuruh seseorang saja untuk memanggilku ?”
“Tidak, engkaulah yang harus didatangi. “
“Penghargaan bagiku ?”
“Tidak, sebenarnya aku datang untuk masalah penting. “
“Apa yang engkau kehandaki yaa Syaikh ? Allah merahmati anda. “
“Sesungguhnya puteriku sudah menjadi isterimu, berdasarkan atas agama ini. Maka aku tidak senang membiarkanmu berada ditempatmu, sedangkan isterimu berada ditempat lain. Oleh sebab itu kubawa dia sekarang, “
“Anda membawanya kemari ?”
“Benar. “
Lalu Abu Wada’ah melihat isterinya itu berdiri di belakang Syaih tersebut. Syaikh kemudian berpaling dan berkata kepada puterinya, “ Masuklah kerumah suamimu dengan nama dan berkah Allah wahai puteriku, “ Ketika isteri Abu Wada’ah hendak melangkah, dia tersangkut gaunnya, sehingga nyaris jatuh, mungkin karena ia malu.
Sedangkan Abu Wada’ah hanya bisa terpaku didepannya tanpa harus bilang apa, setelah tersadar buru-buru diambilnya piring berisi roti dan minyak tadi, dia geser kebelakang agar isterinya tidak melihatnya.
Tak lama kemudian ibunya datang, setelah melihat isteri Abu Wada’ah, dia berpaling kepada Abu Wada’ah seraya berkata, “Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat, " Terserah ibulah, aku setuju saja, " jawab Abu Wada'ah. Maka diboyonglah isterinya itu oleh ibunya. Tiga hari kemudian isterinya diantarkan kembali kepada Abu Wada'ah. Ternyata isterinya adalah seorang yang tercantik di Madinah, paling hafal kitabullah, dan paling mengerti akan soal-soal hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, juga paling paham hak-hak suami isteri.
Ada saat yang berbahagia bagi Abu Wada'ah ketika itu ia ingin pergi ke halaqohnya bapak mertuanya untuk menuntut ilmu, akan tetapi oleh isterinya dicegahlah niatnya, sambil berkata, " Wahai suamiku hendak kemana dirimu pergi ? maka Abu Wada'ah menjawab mau menghadiri majelis ilmu bapakmu, maka dengan perkataan lembut isterinya berkata, " belajarlah bersamaku karena ilmu bapak sebanding dengan ilmuku,......"
subhaanallahu, Allahu Akbar sungguh kisah pernikahan dua insan anak manusia yang sangat indah untuk dikenang.
Maka berbahagialah bagi para pemuda yang dikaruniai oleh Allah Ta'ala pendamping hidup yang sholehah seperti itu.
Adakah Abu Wada'ah, Abu Wada'ah selanjutnya..........?????
Wallahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar