Jumat, 14 Januari 2011

pembahasan Ikhtilath maksiat,,

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu'
sahabat,, d'sini akan d'bahas tenteng IKHTILATH Oleh
Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Secara bahasa Ikhtilath berarti percampuran; perubahan ingatan. Tetapi yang dimaksudkan di dalam pembahasan ini adalah Ikhtilath (percampuran) antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya. Sementara itu dari perkataan para ahli ilmu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan Ikhtilath adalah percampuran atau berdesak-desakan antara orang-orang laki-laki dengan para wanita. Di antara perkataan mereka adalah:

1. Ketika Imam Abu Bakar Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusi rahimahullah menyebutkan berbagai macam bid’ah, beliau berkata: “Dan (termasuk bid’ah) keluarnya orang-orang laki-laki bersama-sama atau sendiri-sendiri bersama para wanita dengan berikhtilath”. [Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

2. Kemudian Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi mengomentari ucapan Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas dengan perkataan: “Ini (ikhtilath) terlarang, tidak boleh. Oleh karena itulah penulis memasukkannya (ke dalam bid’ah). Dan dalil-dalil diharamkannya ikhtilath sangat banyak, sebagian (ulama) yang cemburu (terhadap agama) –mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepada mereka- telah mengumpulkan dalil-dalil itu di dalam buku-buku tersendiri. Adapun orang-orang yang tersilaukan oleh pelacuran Barat yang kafir, yang tertipu oleh kesesatan peradaban modern, menurut persangkaan mereka!!!, mereka terombang-ambing di dalam kegelapan-kegelapan mereka, berbuat sembarangan di dalam kebodohan mereka, mencari-cari fatwa-fatwa dari berbagai tempat yang membolehkan ikhtilath semacam ini untuk mereka…padahal ikhtilath itu, demi Allah, merupakan kesesatan yang nyata! Mudah-mudahan mereka berfikir…dan kembali menuju kebenaran”. [Catatan kaki Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata mengomentari hadits riwayat Abu Dawud di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

"Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu. [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 568, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H].

Hadits ini mengisyaratkan bahwa ikhthilath (bercampur-baur) orang-orang laki-laki dengan para wanita di jalan itu adalah dengan berdeasak-desakan atau berjalan bersama-sama, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para wanita agar berjalan di pinggir jalan.

4. Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata: "Dan sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf." [Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M]

5. Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, seorang ulama dari Yaman) berkata: "Saling berdesakan antara para wanita dengan orang-orang laki-laki, termasuk sebab-sebab (jalan-jalan) fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-Red). Oleh karena itulah Nabi n tetap di tempatnya sebentar (setelah shalat), begitu juga para sahabat yang bersama beliau, sebagaimana di dalam riwayat Bukhari (no:866), sedangkan para wanita langsung berdiri setelah salam. Tetapi di zaman kita telah terjadi ikhtilah pada banyak pekerjaan, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lainnya". [Nashihati Lin Nisa’, hal:120, Darul Haramain, cet:I, th:1421 H – 2000 M].

6. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid juga mengisyaratkan makna ikhtilath ketika beliau menjelaskan beberapa syarat keluarnya wanita menuju masjid. Beliau berkata: “Hendaklah (wanita) tidak berdesakkan dengan orang-orang laki-laki, baik di jalan atau di (masjid) Jami’. [Hirasatul Fadhilah, hal:100, Darul ‘Ashimah, cet:II, th: 1421 – 2000 M]

MACAM-MACAM IKHTILATH DAN HUKUMNYA
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah pernah ditanya: "Bolehkah ikhtilah (bercampur-baur) antara orang-orang laki-laki dengan para wanita jika aman dari fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-pen)?".
Beliau menjawab: "Ikhtilah (bercampur-baur) antara orang-orang laki-laki dengan para wanita ada tiga keadaan:

1. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki mahram mereka. Ini tidak ada kekaburan tentang bolehnya.

2. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki asing (bukan mahram) untuk tujuan kerusakan (maksiat-pen). Ini tidak ada kekaburan tentang haramnya.

3. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki asing (bukan mahram) di majlis-majlis ilmu (sekolah; madrasah; dan lain-lain-Red), toko-toko (warung; kedai), perpustakaan-perpustakaan, rumah-sakit-rumah-sakit, pesta-pesta, dan yang semacamnya. Ini pada hakekatnya, penanya kemungkinan menyangka pada pandangan yang pertama bahwa hal ini tidak akan menjadikan mereka saling terfitnah (tergoda untuk berbuat kemaksiatan-pen) dengan yang lain.

Untuk mengetahui hakekat bagian (ke 3) ini, maka kami akan menjawab secara global dan secara terperinci.

Adapun secara global: Bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan kekuatan bagi laki-laki dan naluri tertarik kepada wanita. Demikian juga Allah telah menjadikan naluri wanita tertarik kepada laki-laki bersamaan dengan kelemahan dan kelembutannya. Maka jika terjadi percampuran (antara keduanya) niscaya timbullah dampak-dampak yang menimbulkan tujuan yang buruk, karena sesungguhnya jiwa itu banyak memerintahkan kepada keburukan, dan hawa-nafsu akan membutakan dan menjadikan tuli, serta syaithan akan memerintahkan kekejian dan kemungkaran.



Artikel Terkait:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar